Stenografi : Bukan solusi keterpaksaan

Sulit terlupakan kejadian 30-an tahun yang lalu, saat duduk di kelas III SMEA Diponegoro Banyuwangi. Situasi murid Kelas III Jurusan Tatabuku cenderung gaduh karena guru di pelajaran pertama dan kedua tidak hadir, sedangkan Guru di pelajaran ke-3 (wakil kepala sekolah) tidak mau merubah ke jam pelajaran pertama, padahal tinggalnya disamping sekolah dan terlihat santai dengan burung perkututnya.

Sebagian besar murid bertahan, sebagian lagi memilih pulang. Besuknya, seluruh siswa yang pulang dilarang masuk, kecuali ada pernyataan orangtua untuk tidak mengulangi lagi. Akhirnya seluruh siswa boleh ikut pelajaran setelah melengkapi pernyataan, kecuali 2 siswa (Santoso dan Ngatmin). Kebetulan keduanya menduduki ranking 1 dan ranking 2.

Setelah beberapa hari dilarang masuk pelajarannya oleh Wakil Kepala Sekolah, sempet goyah juga karena pindah sekolah relatip susah karena menjelang ujian akhir. Kedua siswa akhirnya diperbolehkan masuk kembali. Sebagai bentuk protes terhadap gaya sang wakil kepala sekolah, maka buku pelajaran penuh dengan coretan, yang untungnya coretan symbol tulisan steno.

Awalnya hanya terhadap pelajaran wakil kepala sekolah, tapi akhirnya ke seluruh pelajaran. Tidak ditulis di buku sebagaimana mestinya, tapi dalam bentuk coretan steno karundeng di buku/lembaran. Sambil berdagang bensin eceran, mengasah tulis-baca steno semakin intensif. Sebulan, dua bulan, yaa sekitar 3 atau 4 bulan, menjelang ujian akhir, ada lomba tulisan cepat dan mengetik cepat. Tidak diduga dan tidak disangka, penulis menjuarai tulisan cepat/steno, padahal bukan jurusan sekretaris.

Beberapa tahun kemudian, saat kuliah ilmu hukum di Universitas Indonesia, sebagaimana juga saat ujian akhir SMEA sebelumnya, ternyata idealisme siswa (bersih tidak nyontek) berdampak nilai ujiannya tidak memuaskan, akhirnya yaa nyontek juga. Berbeda gaya contek umumnya, gaya contek kode hanya memanfaatkan apa saja yang ada disekitar kita. Pernah ditengarai oleh pengawas, tapi lolos karena bentuknya coret2-an yang tidak beraturan. Sejak itu nilai indek prestasi cukup bagus.

Ke-enakan menulis steno, terbawa di suasana kerja, ternyata sangat bermanfaat, entah karena ketidakmampuan rekan kerja mencatat info, atau saat itu belum familiar alat perekam, sehingga catatan/info tidak memuaskan pimpinan (info sudah out off date). Stenografi menjadi solusi-nya.

 

Dengarkan para pihak

Sabda Nabi : “Ketika dua pihak minta hukum tentang suatu perkara, maka jangan menjatuhkan putusan kalau baru memperoleh penjelasan dari pihak  pertama, sebelum mendengar penjelasan dari pihak yang lain. Maka kamu akan mengerti bagaimana seharusnya menjatuhkan hukuman.  Sejak saat itu, Kholifah Ali menghukumi dengan cara (prosedur) seperti itu”. (Hadits Tarmidzi-Kitabul Ahkam).

Tidak cukup hanya pemerintah

“Hukum” itu ibarat payung untuk berlindung dari ketidakpastian, namun bisa menjadi rimba belantara yang membingungkan bagi yang tidak memahaminya. Eksistensi hukum sebagai peraturan perundang-undangan, sering tidak diimbangi pengetahuan hukum di masyarakat, entah karena keterbatasan sarana informasi, maupun karena anggapan bidang hukum sebagai pengetahuan yg kompleksitas. Disisi lain berlaku asas “fictie” (setiap orang dianggap tahu hukum), sedangkan ketidakthuan hukum tidak berarti membebaskan dari tuntutan hukum (ignorantia luris Neminem Excusat).

Dengan penduduk sekitar 250 juta-an, tidak mungkin pemerintah sendiri yang mengatasi bidang hukum, perlu dukungan setiap potensi masyarakat, termasuk lembaga bantuan hukum (LBH).

Masalah hukum : memahami dan menyelesaikannya

YLBHI telah menyumbangkan karya besarnya sejak : 2006-2009-dan 2014, melalui penerbitan buku “PANDUAN BANTUAN HUKUM DI INDONESIA”, sebagai pedoman untuk memahami dan menyelesaikan masalah hukum. Adapun tujuannya :

  1. memberi panduan secara teori dan praktek permasalahan hukum serta solusinya,
  2. membuka akses hukum dan menyelesaikan permasalahan hukumnya,
  3. upaya “pemberantasan buta hukum” berbasis : pengetahuan hukum teori+/praktek, pengaturan normatif, pembelajaran kasus, sehingga tercipta masyarakat sadar hukum dan berdaya secara hukum.

Keberadaan Buku tersebut bermakna ganda, disatu sisi sebagai “panduan menjalankan advokasi”, sedangkan disisi lain sebagai “pedoman bagi pencari keadilan guna menjawab permasalahan hukumnya”. Selayaknya Buku tersebut dijadikan tuntunan  melakukan advokasi berbasis praktik dan bukan sebagai karya teori.