BAB I : HUKUM DI INDONESIA

  1. Hukum

a. Pengertian Hukum : (asalnya “huk’mun” bahasa Arab, artinya “menetapkan”) diartikan sbgi peraturan/UU, kaidah dan ketentuan serta keputusan pengadilan/lembaga sengketa, baik formal (dibentuk negara), maupun aktual dibentuk dan dihidupi oleh masyarakat hukum. (Reff. Psl. 12 (3) KUHP). Norma yg menggolongkan peristiwa atau kenyataan tertentu menjadi peristiwa/kenyataan yang memiliki akibat hukum. Contoh : dua orang mengambil sepeda di parkiran, yang satu miliknya sendiri, sedang yang lain bukan miliknya.

b. Hukum dalam Masyarakat. Watak dan penggunaannya tergantung : bentuk relasi sosial,ekonomi,politik, dan budaya dalam masyarakat. Contoh, posisi : perempuan,buruh,anak,guru,seniman,wakli rakyat, dll. Artinya, hukum senantiasa dlm proses perubahan, karena pengaruh tarik-menarik, dorong-mendorong, dari konfigurasi sosial politik. Selain itu, juga terpengaruh dari sejarah kemasyarakatan. Contoh : trauma sosial politik Negara Indonesia akibat penjajahan Belanda.

2. Negara Hukum, ciri2-nya : Perlindungan HAM-Pembagian Kekuasaan-Pemerintahan berdasarkan UU-adanya Peradilan TUN.

3. Sistem Hukum : a. Pengertian (sbgi kesatuan dr komponen/unsur/subsistem hukum : materiil dan formil-perdata dan publik, b. Sumber Hukum, c. Hierarki Peraturan Per-UU-an, d. Norma Hukum dan Norma Sosial.

 

 

 

 

 

Sejarah Hukum Indonesia

  1. Periode Hindia-Belanda, mewarisi : Asas hukum Kebebasan berkontrak – Asas sidang terbuka utk umum-Tiada hukuman tanpa kesalahan/perbuatan melawan hukum. Dinamika pembaharuannya, menghasilkan : Dualisme/pluralisme terhadap hukum privat termasuk peradilannya (walau prakteknya didominasi peraturan negara dibanding adat), dan Pengelompokan masyarakat dalam 3 golongan (Timur asing-Tionghoa-non Tionghoa pribumi).
  2. Periode Jepang : mengganti warna Belanda menjadi Jepang – menghilangkan hak istemewa org Belanda dan Eropa – via UU Balatentara Jepang N0.1/1942, mengatur bahwa seluruh peraturan per-UU-an tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan militer Jepang. Pembaharuannya : Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan, sehingga hanya satu, kecuali untuk Jepang. Semua badan peradilan tetap, kecuali namanya diganti dengan istilah Jepang. Unifikasi kejaksaan (fungsi hukum acara pidana orang eropa disatukan dgn org pribumi di Kensatzu Kyoku, dengan tiga tingkatan peradilan. Penghapusan pembedaan polisi kota dengan polisi desa. Pembentukan lembaga pendidikan hukum, khususnya utk hakim dan jaksa. Pengisian secara serentak jabatan administrasi pemerintahan oleh orang pribumi.
  3. Periode Revolusi Fisik : Pendiri RI merancang model tatanan pemerintahan dan kemasyarakatan yg baru, berupa : Sistem hukum berlandaskan tradisi hukum Romana-Germanic (Azas supremasi hukum – Azas pembagian kekuasaan – Azas peradilan yg tdk berpihak, Penyelenggaraan peradilan yg profesional,  Budaya hukum para praktisi hukum yg cenderung berfikir dan bertindak, tradisi hukum belanda dgn model sistem hukum positif peninggalan hukum Hindia Belanda. Pemimpin republik tidak punya banyak pilihan untnk merancang dari nol, akibatnya meneruskan hukum lama melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Pembaharuan-nya berbentuk : Meneruskan penyatuan badan peradilan dgn penyederhanaan : Tingkat pertama (PN) – tingkat banding (PT), tingkat kasasi (MA). Selain itu, jg dilakukan dg mengurangi dan membatasi peran peradilan adat dan swapraja kecuali badan pengadilan agama, yang ternyata diperkuat menjadi Mahkamah Islam Tinggi.
  4. Periode Demokrasi Liberal : Berlakunya UUDS 1950 berdampak pengakuan HAM lebih maju, namun pembaharuan hukum dan tata peradilan tdk banyak terjadi. Terjadi unifikasi yg tegas menghapus semua badan dan mekanisme pengadilan/penyelesaian sengketa diluar pengadilan (UU No.9/1950 ttg MA dan UU Darurat No,1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan. Pertarungan politik di Parlemen menyebabkan harapan lembaga yudikatif mampu menciptakan hukum tdk berjalan mulus. Hakim yg terdidik dlm ajaran civil law, kurang mahir dan berani membuat hukum, sehingga terobosan-terobosan hukum tidak membawa hasil.
  5. Periode Demokrasi Terpimpin. Pada 5 Juli 1950, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 45, berakibat mengubah sistem pemerintahan parlementer menjadi Presidensiil. Demokrasi Terpimpin dicanangkan utk mengarah ke jalan revolusi. Polisi Militer yg selama Demokrasi Liberal dipinggirkan, kini memiliki dasar hukum utk masuk ke pemerintahan. Langkah Demokrasi Terpimpin yg mempengaruhi dinamika hukum dan peradilan, : a.Menghapus doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukkan MA serta badan peradilan, dibawah ekskutif.b. Mengganti lambang hukum “dewi keadilan” menjadi “pohon beringin” yg berarti pengayoman. c. Ekskutip bisa campur tangan langsung atas proses peradilan, berdasarkan UU 19/1964 dan UU 13/1965, d. Hukum perdata dimasa kolonial tdk berlaku, kecuali sebagai rujukan, sehingga Hakim mesti mengembangkan putusan yg lebih menyesuaikan diri dengan situasi dan konteks masyarakat saat itu. Langkah revolusioner-nya dgn menanggalkan hukum kolonial yg liberal dan asing, mewariskan bbrp kondisi kelembagaan hukum dan tata peradilan, berakibat : 1) merosotnya wibawa peradilan krn dibawah ekskutif, 2). Merajalelanya korupsi di proses peradilan (aparat : kejaksaan-kepolisiaan-pengadilan-hakim-pengacara).
  6. Periode Orde Baru : 1965-1966 terjadi peralihan politik, AD menguasai panggung pemerintahan dibantu ekonom teknokrat liberal. Orba lahir dibawah Soeharto, perkembangan dinamika hukum dan tata peradilan justru diawali penyingkiran hukum dlm proses politik dan pemerintahan. Pembantaian sekitar 1 juta orang, dibiarkan bahkan disokong negara. Penculikan,penyiksaan,pemerkosaan, dan tindakan kejam lainnya kerap terjadi pd orang2 yg berafiliasi dgn PKI. Proses peradilan fair tdk pernah terjadi. Dibidang per-UU-an, dilakukan pembekuan UU Pokok Agraria, saat yg sama membentuk UU yg memudahkan PMA berinvestasi, (UU PMA, UU Kehutanan, UU Pertambangan. Integrasi ekonomi Indonesia dengan ekonomi internasional. Di bidang peradilan (1968-1970), terjadi pertarungan kelompok yuris yg pro kemandirian dan yg pro birokrasi (tak terbebas dr ekskutif/ternyata sbgi pemenang) dlm penyusunan UU ttg Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.  Orba mirip  dgn pemerintahan masa kolonial yg otokratis dan kasar (pertumbuhan ekonomi yg eksploitatif, stabilisasi politik dan pendisiplinan rakyat, perlindungan politik thdp kroni dan birokrat orba. Selama orba, pertumbuhan ekonomi lumayan tinggi akibat sokongan donor internasional serta tingkat represi politik yg tinggi. Tidak banyak dihasilkan, kecuali penderitaan kelompok masyarakat bawah, karena sulit bahkan dihambat mendapatkan keadilan dan manfaat atas pembangunan. Perundangan yg dihasilkan utk  merekayasa masyarakat agar sesuai kondisi modernisasi (cocok jd koeli perusahaan), Peradilan bukan lebih baik dan bersih, malah makin rusak dan korup. Produksi paling menonjol : penghancuran kapasitas civil society-lembaga hukum dibawah ekskutif-pelemahan lembaga politik dan kelompok strategis – pengendalian sistem pendidikan-Pengembangan budaya korupsi dan kekerasan – ketergantungan pd utang luar negeri.
  7. Periode Pasca Orde Baru : tahun 1998 orba rontok akibat krisis moneter dan pembusukan politik para pendukung utama. Sejak Habibie, desakan pembaharuan meliputi : sos-pol-ek-huk, kian kencang, bahkan UUD 45 telah 4x diganti, padahal sebelumnya dianggap sakral. a. Dibidang perundangan dan kelembagaan negara, pembaharuannya terhadap kelembagaan politik dan ketatanegaraan ( ada 8 UU), b.  pembaharuan kelembagaan hukum dan HAM (10 UU), c. pembaharuan sistem ekonomi (3 UU).

Kecenderungan ideologi politik hukum yg pro pasar bebas dan pendekatan kelembagaan dalam reformasi hukum, memunculkan masalah hukum baru. Pertama : peraturan perundangan yg lahir justru privatisasi cabang produksi penting, menguasai hajat hidup orang banyak, dan menimbulkan ancaman bagi lingkungan hidup (4 UU). Kedua, Pendekatan reformasi hukum yg menitikberatkan pada pembaharuan administrasi dan prosedur, disatu sisi memberi kejelasan-kepastian formal dlm hal transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, namun disisi lain secara perlahan meminggirkan isu politik luas yg mendasar dlm pembaharuan hukum. Perkembangan terkini dari proses pembaharuan hukum adalah berkembangnya diskursi keadilan dalam kebijakan, program pembangunan yg dibiayai donor dan berbagai putusan pengadilan.

 

 

 

 

 

Pembentukan dan Pelaksanaan Hukum

  1. Pembentukan Hukum. Berbeda antara hukum rakyat/adat(hasil interaksi : orang-alam-tuhan) ,dengan hukum negara (UU 12/2011, khusus Masukan & partisipasi masyarakat diatur pd Psl.96 ayat 1+ 2, dan Psl. 4). Khusus ketentuan tehnis lain, yg diatur pd : Perpres 68/2005 dan 61/2005, tetap berlaku sepanjang tdk bertentangan dgn UU 12/2011.
  2. Pelaksanaan Hukum (tindakan menjalankan hukum tanpa ada sengketa & pelanggaran). Hakim dpt melakukan penemuan hukum krn tdk boleh menolak dg alasan peraturannya tdk jelas/lengkap. Bahkan hakim juga dpt menggali nilai2 yg berkembang di masyarakat.
  3. Campur tangan dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum,  dipengaruhi kepentingan masyarakat (politik,ekonomi, ideologi, dsb), artinya tdk dlm ruang hampa (pemikiran bhw hkm dibentuk & diterapkan secara netral & objektip, telah lama diragukan kebenarannya). Konsekuensinya terjadi pertarungan thdp kepentingan dan kehendaknya, akibatnya : terjadi kesenjangan yg akhirnya menimbulkan perbedaan penafsiran hkm antara masyarakat dan aparat penegak hkm. Contoh : aparat didorong kepentingan ekonomi, memungut pungli dr masyarakat.
  4. Budaya mempengaruhi hukum, via”korupsi” ! : ketentuan batas waktu dilanggar (jawaban bisa lebih cepat dari batas waktu,sebaliknya permohonan bisa dijawab melewati batas waktu), bahkan perkara bisa dipendam krn ada uang pelicin. Jadi faktor budaya-lah : ketentuan jadi mandul, penerapan tdk bisa sepenuhnya dilakukan, penerapan diberlakukan berbeda padahal perkaranya sama.

Sistem Hukum

  1. Pengertian (a. sebagai sub sistem, dari hukum materiil & formil, hukum perdata & publik, b. Sebagai kesatuan dari komponen : struktur,substansi, budaya : hukum)
  2. Sumber Hukum (a. dipahami sbgi, : asas hukum-sumber hukum terdahulu-sumber kekuatan yg berlaku secara formal-sumber dr mana hukum itu diketahui-sumber yg menimbulkan hukum,  b. berbentuk : sumber hukum materiil (faktor yg memberi kontribusi bagi isi hukum)-sumber hukum formil (UU,konvensi,yurisprodensi,traktat/kovenan,perjanjian,doktrin/pendapat pakar)
  3. Hierarki Peraturan Per-UU-an (UUD 45-TAP MPR-UU/PERPU-PP-Perpres-Perdaprov-perdakab)
  4. Norma Sosial : Norma hukum-norma kepercayaan/agama-norma kesusilaan-dan norma kesopanan, yg semua itu berpengaruh pd tindakan dan batindlm sistem hubungan sosial.

Sistem Hukum

Sistem Hukum dapat dipahami, dalam pengertian :

  1. Sebagai kesatuan dari komponen/unsur (subsistem) hukum : materiil dan formil, perdata dan publik;
  2. Sebagai kesatuan dari komponen2-nya : a. Struktur hukum = kerangka yg memberi bentuk dan batasan pd sistem hukum, yg unsur2nya : ekskutip, legislatip, dan yudikatip, b. Substansi hukum = aturan,norma, dan perbuatan manusia yg nyata, ( contoh : aturan penggunaan helm, c. Budaya Hukum = tampak dalam kepercayaan, kepemilikan, dan harapan (Indonesia = pengelolaan tanah dan hutan, USA=menyelesaikan perkara di pengadilan, Cina+Jepang malu menyelesaikan perkara di pengadilan).

Negara Hukum

Negara yg berdasarkan hukum, memiliki 4 ciri :

  1. Perlindungan HAM,
  2. Pembagian Kekuasaan,
  3. Pemerintahan berdasarkan UU, dan
  4. PTUN.

Pemerintah dan DPR berwenang utnuk bersama membentuk UU. Di level daerah, Kepala Daerah da DPRD berwenang untuk bersama membentuk Peraturan Daerah (Perda). Pemerintah Pusat/Daerah membentuk peraturan pelaksanaan untuk menjalankan berbagai kegiatan, yang disebut kebijakan (policy).

Poin kata sambutan “Hamdan Zoelfa”

Dinamika hubungan rakyat dengan negara sering mengalami ketegangan. Predikat negara manakala memiliki kekuasaan penuh (kedaulatan) atas suatu wilayah, membuat rakyat sering tidak berdaya terhadap kuasa negara. Pada titik tertentu, kuasa negara melalui penguasanya menindas, perlawanan rakyat sebagai jawabannya.

Hasil perlawanan rakyat, melahirkan konsep hubungan rakyat dan negara, antara lain : Pemisahan kekuasaan, HAM, demokrasi, pelaksanaan kekuasaan berdasarkan hukum, lembaga peradilan yang independen, dll, yg saling terkait dalam konsep negara hukum (rechtsstaat) atau rule of law, termasuk civil society. Kesemuanya itu dalam rangka pembatasan kekuasaan negara. Landasan utama konsep hubungan negara dengan rakyat : “karena rakyat dan untuk rakyatlah, negara diadakan”.

Rakyat tidak memiliki kuasa apapun berhadapan dengan negara, manakala proses demokrasi telah dilaksanakan, kecuali melalui jalur hukum. Dengan demikian, kerangka hubungan yang ideal antara negara dan rakyat adalah kerangka hubungan yg menjunjung tinggi HAM, hukum yg demokratis, dan independensi lembaga peradilan. Di atas semua itu, etika dan nilai-nilai agama haruslah menjadi landasan utama.

Sesungguhnya, kata Aristoteles (sang filsuf Yunani), hubungan ideal antara negara dengan rakyat tidak rumit, jika sang penguasa itu seorang filosof, ataupun seorang nabi/rosul sebagaimana termaktub dalam kitab suci. Masalahnya, filosof dan itu jumlah dan kurun wktunya sedikit sekali.

Sebuah buku Panduan dari YLBHI, yang menjadi pedoman bagi siapapun saat berhadapan dengan masalah hukum dan ketidakadilan, memberi banyak keuntungan bagi rakyat, namun masih terlalu banyak rakyat yang tidak paham hukum.

 

Poins Panduan Bantuan Hukum (Prakata)

Reff.: Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (2014)

  1. Solusi alternatip terhadap persoalan hukum : bedah kerangka teoritiknya + rumuskan konstruksi problem konkretnya
  2. Pendekatan 5 in 1 (five in one) : pengetahuan hukum yg biasa dihadapi-ketentuan normatif hukum tertentu-kerangka teori dan praktek problem hukum-abstraksi proses pembelajaran hukum-buka akses hukum untuk semua, dan sebagai alat pembebasan bagi korban ketidakadilan +/pihak yg memperjuangkan hajat hidup didepan hukum dan proses penegakan hukumnya.
  3. Perlu direkonstruksi suatu situasi : sosiologis, legal, dan politis-pd kesimpulan : relevan, material, penting.
  4. Situasi yang korup dan pelanggaran HAM, memaksa harus berupaya sendiri dg segenap sumberdaya yang dimiliki utk melindungi kepentingan dan hak-haknya.
  5. Wajib bagi masyarakat utk membangun tafsir dan memaknai suatu negara bahkan merekonstruksikan utk mengabdi pd rakyat, melindungi HAM, dan mensejahterakan rakyat.
  6. Pada kenyataan terjadi paradok. Secara eksplisit, Indonesia sebagai negara hukum (Psl.1 ayat (3) UUD 1945), tetapi sejumlah fakta banyak kasus ketidakadilan yang merugikan rakyat. Fakta lain pula menunjukkan angka-angka kemiskinan penduduk, disparitasnya tidak menurun malah cenderung bertambah.
  7. Suatu cita dan tujuan dibentuk suatu Negara Republik Indonesia, untuk kepentingan rakyat, melindungi dan mensejahterakan rakyat dan sekaligus daulat rakyat. Intinya, kedaulatan hukum seyogyanya berpijak untuk sepenuhnya kepentingan rakyat, artinya hukum tidak boleh mengingkari/sewenang-wenang dihadapan kepentingan rakyat.
  8. Ide dasar hukum Gustav Raburch bahwa dalam wujud suatu negara hukum senantiasa harus memuat keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
  9. Celakanya, prinsip keadilan yang seyogyanya tersublimasi dalam semua peraturan perundang-undangan, justru kehilangan legitimasinya. Karena itu, ada peraturan, kebijakan dibuat, ternyata justru tidak melindungi kepentingan rakyat dan acapkali mendekonstruksi makna Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis.

Stenografi : Bukan solusi keterpaksaan

Sulit terlupakan kejadian 30-an tahun yang lalu, saat duduk di kelas III SMEA Diponegoro Banyuwangi. Situasi murid Kelas III Jurusan Tatabuku cenderung gaduh karena guru di pelajaran pertama dan kedua tidak hadir, sedangkan Guru di pelajaran ke-3 (wakil kepala sekolah) tidak mau merubah ke jam pelajaran pertama, padahal tinggalnya disamping sekolah dan terlihat santai dengan burung perkututnya.

Sebagian besar murid bertahan, sebagian lagi memilih pulang. Besuknya, seluruh siswa yang pulang dilarang masuk, kecuali ada pernyataan orangtua untuk tidak mengulangi lagi. Akhirnya seluruh siswa boleh ikut pelajaran setelah melengkapi pernyataan, kecuali 2 siswa (Santoso dan Ngatmin). Kebetulan keduanya menduduki ranking 1 dan ranking 2.

Setelah beberapa hari dilarang masuk pelajarannya oleh Wakil Kepala Sekolah, sempet goyah juga karena pindah sekolah relatip susah karena menjelang ujian akhir. Kedua siswa akhirnya diperbolehkan masuk kembali. Sebagai bentuk protes terhadap gaya sang wakil kepala sekolah, maka buku pelajaran penuh dengan coretan, yang untungnya coretan symbol tulisan steno.

Awalnya hanya terhadap pelajaran wakil kepala sekolah, tapi akhirnya ke seluruh pelajaran. Tidak ditulis di buku sebagaimana mestinya, tapi dalam bentuk coretan steno karundeng di buku/lembaran. Sambil berdagang bensin eceran, mengasah tulis-baca steno semakin intensif. Sebulan, dua bulan, yaa sekitar 3 atau 4 bulan, menjelang ujian akhir, ada lomba tulisan cepat dan mengetik cepat. Tidak diduga dan tidak disangka, penulis menjuarai tulisan cepat/steno, padahal bukan jurusan sekretaris.

Beberapa tahun kemudian, saat kuliah ilmu hukum di Universitas Indonesia, sebagaimana juga saat ujian akhir SMEA sebelumnya, ternyata idealisme siswa (bersih tidak nyontek) berdampak nilai ujiannya tidak memuaskan, akhirnya yaa nyontek juga. Berbeda gaya contek umumnya, gaya contek kode hanya memanfaatkan apa saja yang ada disekitar kita. Pernah ditengarai oleh pengawas, tapi lolos karena bentuknya coret2-an yang tidak beraturan. Sejak itu nilai indek prestasi cukup bagus.

Ke-enakan menulis steno, terbawa di suasana kerja, ternyata sangat bermanfaat, entah karena ketidakmampuan rekan kerja mencatat info, atau saat itu belum familiar alat perekam, sehingga catatan/info tidak memuaskan pimpinan (info sudah out off date). Stenografi menjadi solusi-nya.