Sejarah Hukum Indonesia

  1. Periode Hindia-Belanda, mewarisi : Asas hukum Kebebasan berkontrak – Asas sidang terbuka utk umum-Tiada hukuman tanpa kesalahan/perbuatan melawan hukum. Dinamika pembaharuannya, menghasilkan : Dualisme/pluralisme terhadap hukum privat termasuk peradilannya (walau prakteknya didominasi peraturan negara dibanding adat), dan Pengelompokan masyarakat dalam 3 golongan (Timur asing-Tionghoa-non Tionghoa pribumi).
  2. Periode Jepang : mengganti warna Belanda menjadi Jepang – menghilangkan hak istemewa org Belanda dan Eropa – via UU Balatentara Jepang N0.1/1942, mengatur bahwa seluruh peraturan per-UU-an tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan militer Jepang. Pembaharuannya : Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan, sehingga hanya satu, kecuali untuk Jepang. Semua badan peradilan tetap, kecuali namanya diganti dengan istilah Jepang. Unifikasi kejaksaan (fungsi hukum acara pidana orang eropa disatukan dgn org pribumi di Kensatzu Kyoku, dengan tiga tingkatan peradilan. Penghapusan pembedaan polisi kota dengan polisi desa. Pembentukan lembaga pendidikan hukum, khususnya utk hakim dan jaksa. Pengisian secara serentak jabatan administrasi pemerintahan oleh orang pribumi.
  3. Periode Revolusi Fisik : Pendiri RI merancang model tatanan pemerintahan dan kemasyarakatan yg baru, berupa : Sistem hukum berlandaskan tradisi hukum Romana-Germanic (Azas supremasi hukum – Azas pembagian kekuasaan – Azas peradilan yg tdk berpihak, Penyelenggaraan peradilan yg profesional,  Budaya hukum para praktisi hukum yg cenderung berfikir dan bertindak, tradisi hukum belanda dgn model sistem hukum positif peninggalan hukum Hindia Belanda. Pemimpin republik tidak punya banyak pilihan untnk merancang dari nol, akibatnya meneruskan hukum lama melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Pembaharuan-nya berbentuk : Meneruskan penyatuan badan peradilan dgn penyederhanaan : Tingkat pertama (PN) – tingkat banding (PT), tingkat kasasi (MA). Selain itu, jg dilakukan dg mengurangi dan membatasi peran peradilan adat dan swapraja kecuali badan pengadilan agama, yang ternyata diperkuat menjadi Mahkamah Islam Tinggi.
  4. Periode Demokrasi Liberal : Berlakunya UUDS 1950 berdampak pengakuan HAM lebih maju, namun pembaharuan hukum dan tata peradilan tdk banyak terjadi. Terjadi unifikasi yg tegas menghapus semua badan dan mekanisme pengadilan/penyelesaian sengketa diluar pengadilan (UU No.9/1950 ttg MA dan UU Darurat No,1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan. Pertarungan politik di Parlemen menyebabkan harapan lembaga yudikatif mampu menciptakan hukum tdk berjalan mulus. Hakim yg terdidik dlm ajaran civil law, kurang mahir dan berani membuat hukum, sehingga terobosan-terobosan hukum tidak membawa hasil.
  5. Periode Demokrasi Terpimpin. Pada 5 Juli 1950, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 45, berakibat mengubah sistem pemerintahan parlementer menjadi Presidensiil. Demokrasi Terpimpin dicanangkan utk mengarah ke jalan revolusi. Polisi Militer yg selama Demokrasi Liberal dipinggirkan, kini memiliki dasar hukum utk masuk ke pemerintahan. Langkah Demokrasi Terpimpin yg mempengaruhi dinamika hukum dan peradilan, : a.Menghapus doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukkan MA serta badan peradilan, dibawah ekskutif.b. Mengganti lambang hukum “dewi keadilan” menjadi “pohon beringin” yg berarti pengayoman. c. Ekskutip bisa campur tangan langsung atas proses peradilan, berdasarkan UU 19/1964 dan UU 13/1965, d. Hukum perdata dimasa kolonial tdk berlaku, kecuali sebagai rujukan, sehingga Hakim mesti mengembangkan putusan yg lebih menyesuaikan diri dengan situasi dan konteks masyarakat saat itu. Langkah revolusioner-nya dgn menanggalkan hukum kolonial yg liberal dan asing, mewariskan bbrp kondisi kelembagaan hukum dan tata peradilan, berakibat : 1) merosotnya wibawa peradilan krn dibawah ekskutif, 2). Merajalelanya korupsi di proses peradilan (aparat : kejaksaan-kepolisiaan-pengadilan-hakim-pengacara).
  6. Periode Orde Baru : 1965-1966 terjadi peralihan politik, AD menguasai panggung pemerintahan dibantu ekonom teknokrat liberal. Orba lahir dibawah Soeharto, perkembangan dinamika hukum dan tata peradilan justru diawali penyingkiran hukum dlm proses politik dan pemerintahan. Pembantaian sekitar 1 juta orang, dibiarkan bahkan disokong negara. Penculikan,penyiksaan,pemerkosaan, dan tindakan kejam lainnya kerap terjadi pd orang2 yg berafiliasi dgn PKI. Proses peradilan fair tdk pernah terjadi. Dibidang per-UU-an, dilakukan pembekuan UU Pokok Agraria, saat yg sama membentuk UU yg memudahkan PMA berinvestasi, (UU PMA, UU Kehutanan, UU Pertambangan. Integrasi ekonomi Indonesia dengan ekonomi internasional. Di bidang peradilan (1968-1970), terjadi pertarungan kelompok yuris yg pro kemandirian dan yg pro birokrasi (tak terbebas dr ekskutif/ternyata sbgi pemenang) dlm penyusunan UU ttg Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.  Orba mirip  dgn pemerintahan masa kolonial yg otokratis dan kasar (pertumbuhan ekonomi yg eksploitatif, stabilisasi politik dan pendisiplinan rakyat, perlindungan politik thdp kroni dan birokrat orba. Selama orba, pertumbuhan ekonomi lumayan tinggi akibat sokongan donor internasional serta tingkat represi politik yg tinggi. Tidak banyak dihasilkan, kecuali penderitaan kelompok masyarakat bawah, karena sulit bahkan dihambat mendapatkan keadilan dan manfaat atas pembangunan. Perundangan yg dihasilkan utk  merekayasa masyarakat agar sesuai kondisi modernisasi (cocok jd koeli perusahaan), Peradilan bukan lebih baik dan bersih, malah makin rusak dan korup. Produksi paling menonjol : penghancuran kapasitas civil society-lembaga hukum dibawah ekskutif-pelemahan lembaga politik dan kelompok strategis – pengendalian sistem pendidikan-Pengembangan budaya korupsi dan kekerasan – ketergantungan pd utang luar negeri.
  7. Periode Pasca Orde Baru : tahun 1998 orba rontok akibat krisis moneter dan pembusukan politik para pendukung utama. Sejak Habibie, desakan pembaharuan meliputi : sos-pol-ek-huk, kian kencang, bahkan UUD 45 telah 4x diganti, padahal sebelumnya dianggap sakral. a. Dibidang perundangan dan kelembagaan negara, pembaharuannya terhadap kelembagaan politik dan ketatanegaraan ( ada 8 UU), b.  pembaharuan kelembagaan hukum dan HAM (10 UU), c. pembaharuan sistem ekonomi (3 UU).

Kecenderungan ideologi politik hukum yg pro pasar bebas dan pendekatan kelembagaan dalam reformasi hukum, memunculkan masalah hukum baru. Pertama : peraturan perundangan yg lahir justru privatisasi cabang produksi penting, menguasai hajat hidup orang banyak, dan menimbulkan ancaman bagi lingkungan hidup (4 UU). Kedua, Pendekatan reformasi hukum yg menitikberatkan pada pembaharuan administrasi dan prosedur, disatu sisi memberi kejelasan-kepastian formal dlm hal transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, namun disisi lain secara perlahan meminggirkan isu politik luas yg mendasar dlm pembaharuan hukum. Perkembangan terkini dari proses pembaharuan hukum adalah berkembangnya diskursi keadilan dalam kebijakan, program pembangunan yg dibiayai donor dan berbagai putusan pengadilan.

 

 

 

 

 

Pembentukan dan Pelaksanaan Hukum

  1. Pembentukan Hukum. Berbeda antara hukum rakyat/adat(hasil interaksi : orang-alam-tuhan) ,dengan hukum negara (UU 12/2011, khusus Masukan & partisipasi masyarakat diatur pd Psl.96 ayat 1+ 2, dan Psl. 4). Khusus ketentuan tehnis lain, yg diatur pd : Perpres 68/2005 dan 61/2005, tetap berlaku sepanjang tdk bertentangan dgn UU 12/2011.
  2. Pelaksanaan Hukum (tindakan menjalankan hukum tanpa ada sengketa & pelanggaran). Hakim dpt melakukan penemuan hukum krn tdk boleh menolak dg alasan peraturannya tdk jelas/lengkap. Bahkan hakim juga dpt menggali nilai2 yg berkembang di masyarakat.
  3. Campur tangan dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum,  dipengaruhi kepentingan masyarakat (politik,ekonomi, ideologi, dsb), artinya tdk dlm ruang hampa (pemikiran bhw hkm dibentuk & diterapkan secara netral & objektip, telah lama diragukan kebenarannya). Konsekuensinya terjadi pertarungan thdp kepentingan dan kehendaknya, akibatnya : terjadi kesenjangan yg akhirnya menimbulkan perbedaan penafsiran hkm antara masyarakat dan aparat penegak hkm. Contoh : aparat didorong kepentingan ekonomi, memungut pungli dr masyarakat.
  4. Budaya mempengaruhi hukum, via”korupsi” ! : ketentuan batas waktu dilanggar (jawaban bisa lebih cepat dari batas waktu,sebaliknya permohonan bisa dijawab melewati batas waktu), bahkan perkara bisa dipendam krn ada uang pelicin. Jadi faktor budaya-lah : ketentuan jadi mandul, penerapan tdk bisa sepenuhnya dilakukan, penerapan diberlakukan berbeda padahal perkaranya sama.

Poin kata sambutan “Hamdan Zoelfa”

Dinamika hubungan rakyat dengan negara sering mengalami ketegangan. Predikat negara manakala memiliki kekuasaan penuh (kedaulatan) atas suatu wilayah, membuat rakyat sering tidak berdaya terhadap kuasa negara. Pada titik tertentu, kuasa negara melalui penguasanya menindas, perlawanan rakyat sebagai jawabannya.

Hasil perlawanan rakyat, melahirkan konsep hubungan rakyat dan negara, antara lain : Pemisahan kekuasaan, HAM, demokrasi, pelaksanaan kekuasaan berdasarkan hukum, lembaga peradilan yang independen, dll, yg saling terkait dalam konsep negara hukum (rechtsstaat) atau rule of law, termasuk civil society. Kesemuanya itu dalam rangka pembatasan kekuasaan negara. Landasan utama konsep hubungan negara dengan rakyat : “karena rakyat dan untuk rakyatlah, negara diadakan”.

Rakyat tidak memiliki kuasa apapun berhadapan dengan negara, manakala proses demokrasi telah dilaksanakan, kecuali melalui jalur hukum. Dengan demikian, kerangka hubungan yang ideal antara negara dan rakyat adalah kerangka hubungan yg menjunjung tinggi HAM, hukum yg demokratis, dan independensi lembaga peradilan. Di atas semua itu, etika dan nilai-nilai agama haruslah menjadi landasan utama.

Sesungguhnya, kata Aristoteles (sang filsuf Yunani), hubungan ideal antara negara dengan rakyat tidak rumit, jika sang penguasa itu seorang filosof, ataupun seorang nabi/rosul sebagaimana termaktub dalam kitab suci. Masalahnya, filosof dan itu jumlah dan kurun wktunya sedikit sekali.

Sebuah buku Panduan dari YLBHI, yang menjadi pedoman bagi siapapun saat berhadapan dengan masalah hukum dan ketidakadilan, memberi banyak keuntungan bagi rakyat, namun masih terlalu banyak rakyat yang tidak paham hukum.

 

Tidak cukup hanya pemerintah

“Hukum” itu ibarat payung untuk berlindung dari ketidakpastian, namun bisa menjadi rimba belantara yang membingungkan bagi yang tidak memahaminya. Eksistensi hukum sebagai peraturan perundang-undangan, sering tidak diimbangi pengetahuan hukum di masyarakat, entah karena keterbatasan sarana informasi, maupun karena anggapan bidang hukum sebagai pengetahuan yg kompleksitas. Disisi lain berlaku asas “fictie” (setiap orang dianggap tahu hukum), sedangkan ketidakthuan hukum tidak berarti membebaskan dari tuntutan hukum (ignorantia luris Neminem Excusat).

Dengan penduduk sekitar 250 juta-an, tidak mungkin pemerintah sendiri yang mengatasi bidang hukum, perlu dukungan setiap potensi masyarakat, termasuk lembaga bantuan hukum (LBH).

Masalah hukum : memahami dan menyelesaikannya

YLBHI telah menyumbangkan karya besarnya sejak : 2006-2009-dan 2014, melalui penerbitan buku “PANDUAN BANTUAN HUKUM DI INDONESIA”, sebagai pedoman untuk memahami dan menyelesaikan masalah hukum. Adapun tujuannya :

  1. memberi panduan secara teori dan praktek permasalahan hukum serta solusinya,
  2. membuka akses hukum dan menyelesaikan permasalahan hukumnya,
  3. upaya “pemberantasan buta hukum” berbasis : pengetahuan hukum teori+/praktek, pengaturan normatif, pembelajaran kasus, sehingga tercipta masyarakat sadar hukum dan berdaya secara hukum.

Keberadaan Buku tersebut bermakna ganda, disatu sisi sebagai “panduan menjalankan advokasi”, sedangkan disisi lain sebagai “pedoman bagi pencari keadilan guna menjawab permasalahan hukumnya”. Selayaknya Buku tersebut dijadikan tuntunan  melakukan advokasi berbasis praktik dan bukan sebagai karya teori.

 

Sifat suatu permintaan

Alkisah, sahabat Rosululloh yg bernama Hakim bin Hisyam datang ke Rosul untuk minta sesuatu, lalu Rosul memberinya. Kemudian lain waktu datang dan minta lagi, lalu Rosul-pun memberikannya. Lain hari datang lagi untuk meminta, dan Rosul pun mengabulkan permintaan ketiga dari Hisyam tersebut, sambil nasehat bahwa “harta itu manis dan hijau (= menyenangkan)”, barangsiapa yang mengambilnya dengan legowo dan senang hati, akan menjadi berkah. Namun jika permintaan berkategori tamak (> 3x) maka tidak barokah, seperti halnya orang yang makan tapi tidak kenyang. Tangan diatas (pemberi) lebih baik dari tangan yang dibawah (peminta)”.

Lalu Sahabat Hakim bin Hisyam bertekad (sumpah) didepan Rosul untuk tidak akan minta lagi pada seorangpun sampai akhir hayatnya. Terbukti bahwa Hisyam tidak hadir ketika diundang makan oleh kholifah Abu Bakr, bahkan ketika Kholifah Umar bin Khotob mengundangnya untuk menerima bagian dari hasil pampasan perang, juga tidak mau hadir. Kholifah Umar mempersaksikan bahwa Sahabat Hakim bin Hisyam tidak minta apapun pada manusia sampai akhir hayatnya.

 

 

 

 

 

Hidup itu memilih

Rosululloh tidak akan memilih dari dua perkara kecuali dipilihlah yang lebih mudah, selama tidak mengandung unsur dosa. Dalam hal mengandung unsur dosa, maka beliau-lah sebagai manusia yang paling menjauhinya. Rosululloh tidak melakukan kerusakan karena kehendak dirinya sendiri, kecuali sebab dirusaknya kebenaran/kehormatannya Allah. (Al-Hadits).

Semoga pelajaran dalam mengarungi setiap elemen kehidupan, yang kenyataannya hampir serba harus memilih, bisa dilakukan sebagaimana mestinya.

 

Dampak gara-gara hal sepele

Reff. Imam Zuhri di Hadits .Muslim juz 8 (halaman 97-98).

Alkisah, di era Bani Israil, ada seseorang, yg hanya gara-gara hal sepele bisa masuk neraka. Sebaliknya, ada yang gara-gara hal sepele, seseorang bisa masuk sorga.

Ada seorang perempuan yang dimasukkan keneraka karena urusan kucing, yang mati karena di-ikat tanpa diberi makan hingga kurus lalu mati. Akibat perbuatan tersebut Allah memasukkannya ke Neraka.

Sebaliknya, ada seorang “Bapak” yg berwasiat, agar kelak ketika mati supaya jasadnya dibakar, lalu abunya disebarkan, sebagian ke laut dan sebagian ke udara”. Maksudnya, agar kiranya Allah sulit membangkitkannya kelak di hari kiamat. Hal tersebut dia sadari karena merasa tidak pernah berbuat baik semasa hidupnya. Kemudian pada saat dibangkitkan, Allah bertanya kenapa dilakukan itu, dijawabnya karena takut kepadaMu Yaa Allah, karena  merasa tidak pernah berbuat baik semasa hidupnya. Sebab alasan itu, Allah memasukkannya ke sorga.

 

 

Busway : Uji kesabaran dalam sejam

Artikel Harian Kompas (Edisi 1-2-16), menyajikan “Warga Didorong Naik Transjakarta” dan  “Fasilitas Pendukung Masih Tidak Memadai”, belum menjawab kenyamanan yang diharapkan penumpang. Bagaimana tidak !, sumpah serapah dari rasa nyaman pupus saat di Halte Kuningan Barat menuju Dukuh Atas, yang luput dari pengamatan.

Beberapa koreksi disampaikan media di akhir artikel, hanya saja drama sekitar sejam (antara pkl. 7.30 hingga 8.30 di hari kerja). Halte tersebut sebagai transit dari arah Halte BNN menuju Grogol/Ragunan/Dukuh Atas, tampak kontras. Busway yang menuju Ragunan kosong-melompong, sedangkan yang menuju Dukuh Atas, berjubel.

Teriakan petugas busway untuk mengatur penumpang bagi yg keluar dan/ masuk, tidak mampu mencegah penumpang yg berdesakan, akibat ketidakseimbangan antara yg keluar dan yg masuk. Sumpah serapah penumpang disertai caci maki, belum lagi penumpang yang memanfaatkan situasi dengan kreativitas (?) perilaku jahilnya. Mengatasi penumpangan di jam tersebut harus segera diatasi oleh Manajemen Busway, khususnya di titik Kuningan Barat tersebut maupun di titik lainnya.

Terpikir, kenapa busway kecil (ex Kopaja) tidak dijadikan solusi kebijakan dalam jangka pendek itu (diskresi). Daripada Busway kecil tersebut menuju Ragunan melompong, melalui diskresi dari aparat Polantas-Operator Busway, melakukan terobosan. Pada jam padat tersebut, tidak perlu sampai ke Ragunan, tapi bisa balik arah dialihkan ke Dukuh Atas. Siapa tahu sumpah serapah sudah tidak terdengar lagi.

G0lkar menjawab

Curhat Ical soal kepahitannya untuk tidak hanyut di aliran politik. “Sedih, pahit. Kita harus pandai membaca situasi. Di Indonesia terkadang politik ada di atas supremasi hukum. Kita terima ini untuk persatukan kembali Partai Golkar. Kita terima mesti pahit,”  tuturnya. (Detiknews” 24-1-2016″).

Makna pesan Ical tersebut :

  1. Politik penuh ketidak pastian,
  2. Supremasi hukum berada dibawah politik,
  3. Harus pandai membaca situasi, baik politik maupun hukum,
  4. Kondisi tersebut harus diterima meskipun pahit asal Golkar tetap bersatu.